Ummu Kultsum Binti Muhammad (Wafat 9 H)
Yang selalu ditentang oleh Abu lahab beserta keluarganya ini, menyebabkan Allah telah mewahyukan kepada Nabi . firman-Nya yang berbunyi, Maka celakalah kedua tangan Abu lahab’(Al-lahab: 1) Setelah tutun ayat ini, Abu lahab berkata kepads Utaibah anaknya, “Kepalaku tidak halal bagi kepalamu selama kamu tidak menceraikan putri Nabi. Maka dia pun menceraikan istrinya, Ummu Kultsum begitu saja. Utaibah mendatangi Nabi . dan mengatakan kata-kata yang menyakitkan hati Rasulullah . Atas periakuan itu, maka Rasulullah . telah berdoa kepada Allah, agar mengirimkan anjing-anjing-Nya untuk membinasakan Utaibah. Dan apa yang telah didoakan oleh Nabi . terhadap Utaibah itu benar-benar teriadi.
Dalam suatu perjalanan, seekor singa yang ganas teiah memilih Utaibah di antara teman-temannya untuk diterkam kepalanya. Utaibah mati dalam keadaan yang sangat mengerikan. Setelah bercerai, maka Ummu Kultsum kembali tinggal bersama Rasulullah . di Mekkah. Dia ikut hijrah ke Madinah ketika Rasulullah . berhijrah, kemudian tinggal di sana bersama keluarga Rasulullah . Ruqayyah dan Ummu Kultsum adalah dua orang saudara yang perjalanan hidup mereka hampir sama.
Mereka berdua teriahir dari bapak yang sama, ibu yang sama, suami mereka pun kakak beradik yang namanya mempunyai arti yang sama; Utbah dan Utaibah, mempunyai mertua yang sama, masuk Islam pada hari yang sama, bercerai pada hari yang sama, dan setelah perceraian itu, mereka mempunyai suami yang sama pula.
Ketika Ruqayyah meninggal dunia, maka Utsman bin Affan. menikahi Ummu Kultsum yang masih perawan yang belum terjamah oleb Utaibah. Pada waktu itu adalah bulan Rabi’ul-Awwal, tahun ke-3 Hijriyah. Dan keduanya baru berkumpul pada bulan Jumadits-Tsani. Mereka hidup bersama sampai Ummu Kultsum meninggal dunia tanpa mendapatkan seorang anak pun. Ummu Kultsum meninggal dunia pada bulan Sya’ban tahun ke-9 Hijriyah. Rasulullah . berkata, Seandainya aku mempunyai sepuluh orang putri, maka aku akan tetap menikahkan mereka dengan Utsman.’ Ummu Kultsum adaiah seorang wanita yang cantik. la senang memakai jubah sutra yang bergaris. Pada hari wafatnya, jenazahnya telah dimandikan oleh Asma’ binti Umais dan Shafiah binti Abdul Muthalib. jenazahnya ditempatkan di atas sebuah keranda yang terbuat dari batang polgon palem yang baru dipotong. Dan pada saat penguburannya, Rasulullah . duduk di dekat kuburan Ummu Kultsum dengan berlinangan air mata. Beliau berkata, siapa di antara kalian yang tidak bercampur dengan istrinya tadi malam?’ Abu Thalhah ra. berkata, Aku, ya Rasulullah lalu Beliau menyuruhnya, “Turunlah kamu.” Maka Abu Thalhah turun dan menguburkan Ummu Kultsum.
Ruqoyyah dan Ummu Kultsum
Lahir dua orang putri dari rahim ibunya, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin Abdil Uzza radhiallahu anha. Menyandang nama Ruqayyah dan Ummu Kultsum radhiallahu anhuma, di bawah ketenangan naungan seorang ayah yang mulia, Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muththalib Shallallahu alaihi wa sallam.
Sebelum datang masa sang ayah diangkat sebagai nabi Allah, Ruqayyah disunting oleh seorang pemuda bernama Utbah, putra Abu Lahab bin Abdul Muththalib, sementara Ummu Kultsum menikah dengan saudara Utbah, Utaibah bin Abi Lahab. Namun, pernikahan itu tak berjalan lama. Berawal dengan diangkatnya Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam sebagai nabi, menyusul kemudian turun Surat Al-Lahab yang berisi cercaan terhadap Abu Lahab, maka Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, menjadi berang. Dia berkata kepada dua putranya, Utbah dan Utaibah yang menyunting putri-putri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Haram jika kalian berdua tidak menceraikan kedua putri Muhammad!”
Kembalilah dua putri yang mulia ini dalam keteduhan naungan ayah bundanya, sebelum sempat dicampuri suaminya. Bahkan dengan itulah Allah selamatkan mereka berdua dari musuh-musuh-Nya. Ruqayyah dan Ummu Kultsum pun berislam bersama ibunda dan saudari-saudarinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ganti yang jauh lebih baik. Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu anha disunting oleh seorang sahabat mulia, Utsman bin Affan radhiallahu anhu.
Sebagaimana kaum muslimin yang lain, mereka berdua menghadapi gelombang ujian yang sedemikian dahsyat melalui tangan kaum musyrikin Mekkah dalam menggenggam keimanan. Hingga akhirnya, pada tahun kelima setelah nubuwah, Allah Subhanahu wa Ta’ala bukakan jalan untuk hijrah ke bumi Habasyah, menuju perlindungan seorang raja yang tidak pernah menzalimi siapa pun yang ada bersamanya. Utsman bin Affan radhiallahu anhu membawa istrinya di atas keledai, meninggalkan Mekkah, bersama sepuluh orang sahabat yang lainnya, berjalan kaki menuju pantai. Di sana mereka menyewa sebuah perahu seharga setengah dinar.
Di bumi Habasyah, Ruqayyah radhiallahu anha melahirkan seorang putra yang bernama Abdullah. Akan tetapi, putra Utsman ini tidak berusia panjang. Suatu ketika, ada seekor ayam jantan yang mematuk matanya hingga membengkak wajahnya. Dengan sebab musibah ini, Abdullah meninggal dalam usia enam tahun.
Perjalanan mereka belum berakhir. Saat kaum muslimin meninggalkan negeri Makkah untuk hijrah ke Madinah, mereka berdua pun turut berhijrah ke negeri itu. Begitu pun Ummu Kultsum radhiallahu anha, berhijrah bersama keluarga Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Selang berapa lama mereka tinggal di Madinah, bergema seruan perang Badr. Para sahabat bersiap untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Namun bersamaan dengan itu, Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu anha diserang sakit. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun memerintahkan Utsman bin Affan radhiallahu anhu untuk tetap tinggal menemani istrinya.
Ternyata itulah pertemuan mereka yang terakhir. Di antara malam-malam peristiwa Badr, Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu anha kembali ke hadapan Rabbnya karena sakit yang dideritanya. Utsman bin Affan radhiallahu anhu sendiri yang turun untuk meletakkan jasad istrinya di dalam kuburnya.
Saat diratakan tanah pekuburan Ruqayyah radhiallahu anha, terdengar kabar gembira kegemilangan pasukan muslimin melibas kaum musyrikin yang diserukan oleh Zaid bin Haritsah radhiallahu anhu. Kedukaan itu berlangsung bersama datangnya kemenangan, saat Ruqayyah bintu Muhammad radhiallahu anha pergi untuk selama-lamanya pada tahun kedua setelah hijrah.
Sepeninggal Ruqayyah radhiallahu anha, Umar bin Al Khaththab radhiallahu anhu menawarkan kepada Utsman bin Affan radhiallahu anhu untuk menikah dengan putrinya, Hafshah bintu Umar radhiallahu anhuma yang kehilangan suaminya di medan Badr. Namun saat itu Utsman dengan halus menolak. Datanglah Umar bin Al-Khaththab radhiallahu anhu ke hadapan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengadukan kekecewaannya.
Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihkan yang lebih baik dari itu semua. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam meminang Hafshah radhiallahu anha untuk dirinya, dan menikahkan Utsman bin Affan radhiallahu anhu dengan putrinya, Ummu Kultsum radhiallahu anha. Tercatat peristiwa ini pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga setelah hijrah.
Enam tahun berlalu. Ikatan kasih itu harus kembali terurai. Ummu Kultsum radhiallahu anha kembali ke hadapan Rabbnya pada tahun kesembilan setelah hijrah, tanpa meninggalkan seorang putra pun bagi suaminya. Jasadnya dimandikan oleh Asma’ bintu Umais dan Shafiyah bintu Abdil Muththalib radhiallahu anhuma.
Tampak Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menshalati jenazah putrinya. Setelah itu, beliau duduk di sisi kubur putrinya. Sembari kedua mata beliau berlinang air mata, beliau bertanya, “Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya semalam?” Abu Thalhah menjawab, “Saya.” Kata beliau, “Turunlah!”
Jasad Ummu Kultsum radhiallahu anha dibawa turun dalam tanah pekuburannya oleh Ali bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin Al-Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah Al-Anshari radhiallahu anhu. Ruqayyah dan Ummu Kultsum, dua putri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai keduanya…. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber :
- Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1701-1704,1853-1854)
- Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/30-35)
- Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (hal. 110-117)
- Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, karya Ibrahim Al-Ali (hal. 192)
- Siyar A’lamin Nubala, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/246-250), Penulis: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu Imran, dinukil dari asysyariah.com, kategori cerminan shalihah.